Akidah Dan Dakwah Islamiyah


A.    Pengertian Akidah
Pengertian keimanan atau akidah itu tersusun dari enam perkara yaitu:
1.      Ma’rifat kepada Allah, ma’rifat dengan nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Juga ma’rifat dengan bukti-bukti wujud atau ada-Nya serta kenyataan sifat keagungan-Nya dalam alam semesta atau di dunia ini.
2.      Ma’rifat dengan alam yang ada dibalik alam semesta ini, yakni alam yang tidak dapat dilihat. Demikian pula kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya yakni yang berbentuk malaikat, juga kekuatan-kekuatan jahat yang berbentuk iblis dan sekalian tentaranya dari golongan syaithan. Selain itu juga ma’rifat dengan apa yang ada di dalam alam yang lain lagi seperti jin dan ruh.
3.      Ma’rifat dengan kitab-kitab Allah Ta’ala yang diturunkan oleh-Nya kepada para rasul. Kepentingsnnya ialah dijadikan sebagai batas untuk mengetahui antara yang hak dan batil, yang baik dan yang jelek, yang halal dan yang haram, juga antara yang bagus dan yang buruk.
4.      Ma’rifat dengan nabi-nabi serta rasul-rasul Allah Ta’ala yang dipilih oleh-Nya untuk menjadi pembimbing seluruh makhluk guna menuju kepada yang hak.
5.      Ma,rifat dengan hari akhir dan peristiwa-peristiwa yang terjadi disaat itu seperti kebangkitan dari kubur (hidup lagi sesudah mati), memperoleh balasan, pahala atau siksa, surge atau neraka.
6.      Ma,rifat kepada takdir (qadha’ dan qadar) yang di atas landasannya itulah berjalannya peraturan segala yang ada di alam semesta ini, baik dalam penciptaan atau cara mengaturnya.
Inilah yang merupakan pengertian pokok dalam keimanan, yakni akidah yang untuk menyiarkannya itulah Allah Ta’ala menurunkan kitab-kitab suci-Nya, mengutus semua Rawsul-Nya dan dijadikan sebagai wasiat-Nya baik untuk golongan awwalin (orarng-orang dahulu) dan golongan akhirin (orang-orang belakangan).
Itulah akidah yang merupakan kesatuan yang tidak akan berubah-ubah karena pergantian zaman atau tempat tidak pula berganti-ganti karena perbedaan golongan atau masyarakat.
Kata aqidah telah melalui tiga tahap perkembangan makna:
Tahap pertama, aqidah diartikan dengan:
1.      Tekad yang bulat (al-‘Azm al-Muakkad)
2.      Mengumpulkan (al-Jam’u)
3.      Niat (an-Niyah)
4.      Menguatkan perjanjian (at-Tauysiq Lil ‘Uqud)
5.      Sesuatu yang diyakini dan dianut oleh manusia, baik itu benar atau batil. (Maa Yadiinu Bihi al-Insan Sawa’un Kaana Haqqan au Bathilan).
Tahap kedua, perbuatan hati. Di snilah aqidah mulai diartikan sebagai perbuatan hati sang hamba. Makna ini lebih sempit dari tahap sebelumnya. Dari sni kemudian aqidah didefinisikan sebagai “keimaan yang tidak mengandung kontra”. Makna ini dianggap sebnagai makna yang syar’i.
·         Kata iman disini, berarti pembenaran.
·         Kata “tidak mengandung kontra” berarti tidak ada sesuatu selain iman dalam hati sang hamba, tidak ada selain bahwa ia beriman kepada-Nya. Maka semua asumsi akan adanya kontra seperti keraguan, dugaan, waham, ketidaktahuan, kesalahan, kelupaan, tidak termasuk dalam batasan ini. Makna inilah yang secara aplikatif berlaku pada tiga zaman paling utama; sahabat, tabi’in, dan tabi’uttabi’in.
Tahap ketiga, di sini aqidah telah memasuki masa kematangan di mana ia telah terstruktur sebagai disiplin ilmu dengan ruang lingkup permasalahan tersendiri. Inilah tahap kemapanan di mana aqidah didefinisikan sebagai “ilmu tentang hukum-hukum syariat dalam bidang aqidah yang diambil dari dalil-dalil yaqiniah (mutlak) dan menolak subhat dan dalil-dalil khilafiyah yang cacat”.
Aqidah adalah masalah fundamental dalam Islam, ia menjadi titik tolak permulaan muslim. Sebaliknya, tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat menerangkan bahwa orang itu memiliki akidah atau menunjukan kualitas iman yang ia miliki. Masalahnya karena iman itu bersegi teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.
Manusia hidup atas dasar kepercayaannya. Tinggi rendahnya nilai kepercayaan memberikan corak ikepada kehidupan. Atau dengan kata lain, tinggi rendahnya nilai kehidupan manusia tergantung kepada kepercayaan yang dimilikinya. Sebab itulah kehidupan pertama dalam Isalam dimulai dengan iman.
Ajaran tentang kepercayaan dalam Islam mudah dimengerti dan sesuai dengan segala tingakatan intelek manusia, dari kaum awam sampai ke tingkat kaun sarjana, dan dari kaum buta huruf sampai kepada guru besar. Begitulah watak doktrin Islam! Yang demikian menyebabkan Nabi Muhammad saw. Cepat memperoleh pengikut yang banyak, manusia pada meninggalkan kepercayaannya yang lama yang tidak rasionil, menggantinya dengan kepercayaan Islam yang rasionil, karena cocok dengan fitrahnya. Tidak mengherankan, kalau Nabi hanya cukup 23 tahun berjuang dalam hidupnya menyeru manusia, sehingga boleh dikatakan seluruh jazirah Arabiah ketika itu telah memeluk keyakinan Islam secara suka rela.
B.     Akidah dan Perubahan
Perubahan harus dikawal dengan aqidah islamiyyah. Aqidah islamiyyah memberi keuntungan yang luar biasa bagi individu yang mencita-citakan perubahan, seperti yang telah dijelaskan pada tulisan bagian terdahulu. Namun bukan itu saja. Aqidah islamiyyah juga punya peran besar dalam menciptakan ketenteraman dan keharmonisan kehidupan sebuah masyarakat. “Keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir serta berserah diri kepada Allah dan patuh kepada agama-Nya telah meluruskan semua yang bengkok di dalam kehidupan dan mengembalikan setiap individu dalam masyarakat manusia kepada kedudukannya, tidak mengurangi dan tidak pula melebih-lebihkan martabatnya,” tulis Maududi. (Kerugian Dunia Akibat Kemorosotan Kaum Muslimin, hal.127, th. 88)
Aqidah Islam telah behasil menghadirkan tonggak-tonggak masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Tonggak-tonggak itu adalah: (1) Kebebasan jiwa; (2) Persamaan kemanusiaan yang sempurna; (3) Aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar; dan (4) Solidaritas sosial yang kuat. Tanpa keempat tonggak itu mustahil tercipta kedamaian, ketenteraman, dan kesejahateraan pada sebuah mansyarakat. Secara konsepsional dan empiris, keempat tonggak itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, kebebasan jiwa. Tidak akan terjalin interaksi harmonis antar anggota masyarakat tanpa kebebasan jiwa setiap anggota masyarakat tersebut. Dalam keadaan jiwa terikat, dihantui ketakutan, atau terbelenggu dengan perbudakan oleh sesama manusia, mustahil ada hubungan harmonis itu. Yang akan lahir adalah justeru perilaku-perilaku semu dan sikap-sikap terpaksa. Dalam keadaan demikian, kehidupan masyarakat hanya akan merupakan kumpulan keluhan dan daftar kesengsaraan. Yang kuat akan menjadi penguasa. Dan yang lemah akan menjadi budak pengabdi, tanpa punya pilihan. Dan adalah kondisi paling berbahaya dalam kehidupan jika antar manusia diciptakan hubungan tuhan-hamba.
Dan kemerdekaan jiwa itu hanya dilahirkan dari aqidah yang benar. Penanaman kebebasan jiwa dilakukan oleh Islam dengan menegaskan bahwa manusia harus terbebas dari peribadatan, pengabdian, kepatuhan dan loyalitas kepada selain Allah; bahwa tidak seorang pun yang memiliki kekuasaan menghidupkan dan mematikan selain Allah; bahwa sumber rezeki dan yang menentukan kepada siapa rezeki itu diberikan hanyalah Allah; serta, bahwa hanya Allah pula yang memberikan keselamatan dan bahaya (mudharat).

“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". (Yunus: 31)
 [689]  sebagian Mufassirin memberi misal untuk ayat Ini dengan mengeluarkan anak ayam dari telur, dan telur dari ayam. dan dapat juga diartikan bahwa pergiliran kekuasaan diantara bangsa-bangsa dan timbul tenggelamnya sesuatu umat adalah menurut hukum Allah.
Dengan demikian aqidah Islam adalah motivator dan orang beriman adalah pelopor perlawanan terhadap segala upaya mempertuhankan manusia oleh sesama manusia. Sebab hal itu bertentangan secara diametral dengan pembebasan jiwa manusia. “Maka itulah Allah Rabb kamu yang benar. Maka tiadalah setelah kebenaran itu selain kesesatan.” (Yunus: 32). Dan salah satu butir Piagam Madinah –sebuah kesepakatan antara kaum muslimin dengan penduduk Madinah– adalah “Janganlah sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan”. Ini sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an di surat Ali Imran ayat 64.

Katakanlah: “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
Kedua, persamaan kemanusiaan yang sempurna. Di atas tonggak pertama itu dibangunlah tonggak berikutnya: persamaan kemanusian yang sempurna. “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian (terdiri) dari laki-laki dan wanita; dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.” (Al-Hujurat: 15). Ayat ini menegaskan bahwa terhormat dan terhinanya manusia tidak dibedakan berdasarkan ras, suku, warna kulit, kebangsaan, kekayaan, jabatan, dan ukuran-ukuran picik lainnya.
Rasulullah saw., saat melakukan haji wada’ (pamungkas) menegaskan pula, “Sesungguhnya darah-darah kalian dan kehormatan kalian haram (untuk dilanggar) oleh kalian, kecuali dengan hak Islam. Tiada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab dan tidak keutamaan bagi non-Arab atas orang Arab; tidak ada keutamaan bagi orang berkulit putih atas kulit hitam dan tidak pula orang berkulit merah atas kulit putih, melainkan dengan taqwa. Kalian semua berasal dari Adam. Sedangkan Adam berasal dari tanah.”
Manakala penghargaan kepada seseorang diberikan berdasarkan prestasinya dalam kebaikan dan kebenaran dan bukan didasarkan pada asal-usul, ras atau sukunya, ini pertanda baik. Sebab hal itu akan melahirkan suasana yang kondusif bagi terwujudnya persaingan sehat antar warga masyarakat. Setiap orang, tanpa dibedakan oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat taqdir –seperti warna kulit dan kebangsaan– mempunyai peluang yang sama besar untuk membaktikan segala potensi dan kemampuannya untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Sayyid Quthb menegaskan, “Islam bersih dari fanatisme suku dan ras; dan persamaan derajat yang diciptakannya sudah sampai pada tingkatan yang selama ini belum pernah dicapai oleh peradaban Barat, sampai detik ini sekalipun; sebuah peradaban yang memberi justifikasi kepada bangsa Amerika untuk memusnahkan bangsa Indian berkulit merah melalui penumpasan terencana, di depan mata dan telinga dunia internasional; yang memberi justifikasi kepada penguasa Afrika Selatan untuk menindas orang kulit hitam melalui undang-undang rasialis; dan memberi justifikasi pula kepada penguasa Rusia, China, dan India untuk menumpas kaum Muslimin di wilayah mereka.”
Ketiga, aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Masyarakat yang dilandasi aqidah Islam akan sangat peduli tentang nasib lingkungannya. Karenanya, mereka selalu melakukan aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Dengan demikian setiap anggota masyarakat secara otomatis menjadi pengontrol terhadap perjalanan kehidupan masyarakatnya dan pemerintahannya. “Dan orang-orang beriman itu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah penolong (pemimpin) bagi sebagian lain; mereka menyuruh melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah: 71)
Cukuplah menjadi alasan datangnya bencana dari Allah jika sebuah masyarakat telah tercerabut kepeduliannya terhadap perilaku anggota masyarakatnya; jika mereka lebih memilih selamat diri sendiri daripada melakukan koreksi terhadap apa yang terjadi di sekitarnya; jika mereka takut untuk mengatakan yang benar sebagai benar dan yang salah adalah salah. Dan bencana yang kini menimpa negeri tercinta ini pun tidak lepas dari adanya kelalaian untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar itu. Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat Yang diriku ada di tangan-Nya, perintahlah kepada yang ma’ruf dan cegahlah dari yang munkar, atau (jika tidak kamu lakukan), maka Allah akan mengirimkan kepada kalian siksa dari sisi-Nya, kemudian kalian memohon kepada-Nya dan tidak dikabulkan.” (Hadits Hasan riwayat At-Tirmidzi)
Keempat, solidaritas sosial yang kuat. Ajaran keimanan yang diterima oleh umat beriman menetapkan bahwa berbuat baik kepada sesama manusia adalah syarat kesempurnaan iman. Misalnya saja, di antara tuntutan iman itu: tidak mengolok-olok, tidak mencela, tidak memanggil orang lain dengan panggilan yang tidak menyenangkan, tidak buruk sangka, tidak memata-matai kesalahan orang lain, dan tidak menggibah (menggunjing). Lihat surat Al-Hujurat ayat 11-12.

C.    Pengertian Dakwah
Dakwah artinya seruan, ajakan atau panggilan. Mendakwahkan suatu keyakinan artinya mempropagandakan sesuatu keyakinan. Dakwah Islamiyah artinya menyampaikna seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia, agar menerima dan mempercayai dan pandangan hidup Islam. Berdakwah artinya mempropagandakan suatu keyakinan, menyerukan suatu pandangan hidup, Iman dan Agama. Mendakwahkan keyakinan Islam, menyerukan Iman dan kepercayaan Agama, tidak boleh dengan jalan paksaan atau kekerasan, atau dengan tekanan kekuasaan.
Islam adalah agama dakwah, dan mempertahankan kebebasan berakwah itu secara konsekuen. Sengketa berdarah atau kebolehan perang dalam Islam yag kit abaca dalam sejarah, menjadi bukti yang jelas bahwa hak kebebasan berdakwah tidak boleh diganggi atau dirintangi, malah wajib dijamin atau dilindungi.
Sifat dan hakikat kebolehan perang dalam Islam adalah membela dan mempertahankan diri. Ucapan yang mengatakan bahwa Islam dikembangkan dengan pedang dan perang adalah semata-mata hasutan kaum imperialis, musuh Islam. Pedang dan perang dalam Islam hanyalah sekedar membela dan mempertahankan diri, tatkala dakwah Islamiyah telah mendapat serangan dan rintangan.
Bangsa dan Negara yang beradab dan beeradat, harus menjamin kebebasan hidup berdakwah kepada setiap agama, setiap keyakinan dan kepercayaan. Setiap Negara demokrasi mencantumkan dalam Undang-Undang Dasarnya kebebasan hidup beragama dan kebebasan mendakwahkan agama itu. Itulah yang dinamakan hak-hak asasi manusia. 
Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti republic Indonesia, bertindak lebih maju lagi. Dasar Ketuhanan itu sendiri telah member arah, bahwa dalam Negara ini agama Ketuhanan bukan saja mendapat perlindungan, tetapi harus mendapat bantuan, dan propaganda atau keyakinan anti Ketuhanan logis tidak mendapat tempat, tidak mendapat bidang dan ruang.


0 komentar: