Kebudayaan dan Agama Orang Banjar
1.
Kebudayaan Banjar
Baayun Maulid |
Orang-orang Banjar beragama Islam; Islam
menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. Islam juga telah
menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak di
sekitarnya, yang umumnya masuh menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan
kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di
kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan
diri) di samping sebagai “menjadi orang Banjar”. Dengan demikian, dikalangan masyarakat
Banjar masih bertahan sistem kepercayaan bubuhan dan kepercayaan
lingkungan dengan kelakuan-kelakuan ritual yang berkaitan, setidaknya
dikalangan tertentu, tetapi bagi kalangan lainnya perilaku ritual tersebut,
meskipun kadang-kadang dicela sebagai memuja setan dan perbuatan syirik,
dianggap sebagai hal yang sewajarnya saja bagi keluarga yang bersangkuatan.
a.
Kepercayaan
Struktur tersebut diberi sifat religius atau berkembang menjadi
bersifat religious. Kekuasaan dan kewibawaan tokoh bubuhan dianggap
bersifat kharismatik: ia memang mempunyai kelebihan dari warga-warga lainnya,
entah karena memang ia mempunyai kekuatan gaib atau karena ia disokong oleh
makhluk-makhluk gaib. Di kalangan warga bubuhannya dan masyarakat
sekitarnya ia ditakuti, karena konon ia dapat mengaritu, mempengaruhi
secara gaib orang lain, baik ia masih hidup dan juga sesudah ia meninggal. Ia
konon mempunyai ilmu rahasia, yang dapat diwariskan pada orang-orang tertentu
di kalangan bubuhannya. Atau sebenarnyalah kewajibannya ditopang oleh
makhluk gaib tertentu, yang dikonsepsikan sebagai sahabat gaibnya (belakangan
juga mu akkal), yang konon dapat diambil alih oleh orang-orang tertentu
diantara keluruhannya.
Saat ini tenpat (keturunan) bubuhan-bubuhan tertentu yang zaman
lampau ternasuk dominan dalam lingkungannya, selalu mempunyai tempat-tempat keramat,
yang dapat diduga menjadi lambang supremasi mereka, selaku penerus tokoh-tokoh
terkemuka terdahulu. Demikianlah bubuhan-bubuhan tertentu mempunyai
sumber-sumber air keramat. Tempat mereka mengambil air keramat untuk keperluan
upacara mandi. Sumber-sumber air keramat tersebut mungkin berasal dari zaman
sebelum islam, seperti umpanya telaga darah di situs candi agung dekat Amuntai
suatu telaga dekat candi Aras atau candi Terar atau dekat Margasari, ulak besar
(ulak, pusaran air di sungai), mungkin suatu telaga di kaki gunung Pematun
dekat Martapura dan sungai datu atau sumur datu di Barikin. Dan mungkin pula
ada sumber-sumber air keramat yang terbentuk belakangan, sekalipun sulit
memperkirakan bagaimana hal itu bisa terjadi.
b.
Sistem
Ritual
Diperlukan suatu mekanisme guna
memelihara solidaritas dikalangan warga masyarakat bubuhan, termasuk
juga dengan bubuhan yang menjadi bawahannya, seperti juga halnya bagi
masyarakat bubuhan yang lebih tinggi lagi. Mungkin tanda kesetiaan warga
dinyatakan dengan menyerahkan sebagian hasil panen yang diperolehkan kepada
(kepala) bubuhan-nya. Pada zaman kesultanan kebiasaan ini
setidak-tidaknya berlaku di Hulu Sungai, atau setidak-tidaknya di sekitar
Amuntai (termasuk daerah Batang Banyu) dan Kandangan (termasuk daerah pahuluan)
di kedua daerah ini digunakan istilah babakulan untuk bagian hasil panen
yang diserahkan tersebut, yaitu berwujud sebakul beras. Oleh kepala bubuhan sebagian
hasil panen yang diterimanya disisihkannya untuk diserahkan pula kepada bubuhan
atasannya.
Kontraksi masyarakat bubuhan terjadi
ketika upacara bersaji, yang dilakukan setahun sekali. Hal ini masih tampak
pada aruh tahun dan sejenisnya. Pada waktu itu seluruh warga bubuhan
diundang dan diharapkan untuk hadir, termasuk juga mereka yang dianggap masih
hidup didalam dunia gaib, atau mereka yang dianggap sebagai sahabat gaib yang
telah membantu nenek moyang bubuhan dahulu kala.
Aruh tahun selalu merupakan pesta bubuhan
, dan aruh tahun kelompok bubuhan yang dominan selalu merupakan aruh
menyanggar banua, yaitu melibatkan wilayah territorial tertentu.
Denikianlah berartian yang paling besar tentu terjadi ketika aruh bubuhan yang
paling dominan di seluruh Banjar. Yaitu tidak terlalu jauh gambarannya dengan
aruh pengantinan, yaitu aruh mulud, seperti yang digambarkan oleh Amir Hasan
Bondan berkenaan dengan Sultan Adam, yaitu sultan diupacaramandikan dan
tubuhnya ditimbang, yang dihadiri oleh seluruh sultan, para pembesar dan para
kepala daerah.
2.
Agama
Orang Banjar
Dahulu orang Banjar hidup di dalam
lingkungan pemukiman dan lingkungan pemerintahan kelompok kekerabatan bubuhan,
yang dilembagakan oleh kerajaan. Corak keislaman di kawasan ini diduga diwarnai
oleh proses islamisasi yang sebagian besar terjadi oleh peralihan agama
kelompok kekerabatan bubuhan secara kelompok, setelah tindakan itu
dilakukan oleh tokohnya yang paling terkemuka. Meskipun mungkin pemeluk Islam
sudah ada sebelumnya, tetapi pengislaman missal terjadi setelah raja, pangeran
Samudra yang dinobatkan sebagai Sultan Suriansyah, memeluk Islam diiringi oleh
seluruh warga bubuhan raja-raja. Kelakuan raja ini diikuti oleh elit
ibukota, masing-masing dengan kelompok warganya, dan kemudian juga oleh elit
daerah bersama dengan keseluruhan warganya, dan kemudian juga oleh elit daerah bersama
dengan keseluruhan warganya. Memang ada kelompok kekerabatan bubhan yang
agak lambat melakukannya tapi dalam waktu yang tidak begitu lama Islam telah
menjadi identitas masyarakat Banjar.
Masing-masing bubuhan sebenarnya
mempunyai kepercayaan sendri-sendiri, dan dengan pengislaman warga bubuhan secara
kelompok ini, Islam telah diterima sebagai sebagian dari kepercayaan bubuhan
dan dari hal ini berarti, membawa serta ritur bubuhan sebagai bagian
dari keislaman mereka. Ritur bubuhan tersebut terwujud upacara bersaji
dengan mengundang makhluk-makhluk halus (orang gaib) yang dianggap penjelmaan
dari keturunan bubuhan generasi yang lampau yang telah gaib dan terus
hidup sampai sekarang dalam dunia gaib. Bekangan upacara bersaji demikian itu
(dinamakan aruh tahun), dicela sebagai memuja setan dan perbuatan
syirik,sehingga ada kelompok kekerabatan bubuhan yang menganggap
kegiatan mereka tersebut sebagai wajib bagi mereka akhirnya malakukannya secara
diam-diam dan beranggapan kegiatan tersebut semata-mata kegiatan sekuler.
0 komentar: