Di masa Rasulullah saw, umat Islam
tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i,
semua permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan
turunnya Al-Qur’an dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping
itu mereka adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta
kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw mereka
pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat berijtihad, meskipun
kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat
mereka gunakan di saat memerlukannya.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak
berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang
peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di
kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad
begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah
terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Ilmu
Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh
hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.Dan
usaha untuk memperoleh hukum-hukum tersebut, antara lain dilakukan dengan jalan
ijtihad.
Sumber
hukum pada masa Rasulullah SAW hanyalah Al-Qur'an dan As-Sunnah
(Al-Hadits). Dalam pada itu kita temui diantara sunnah-sunnahnya ada yang
memberi kesan bahwa beliau melakukan ijtihad. Misalnya, beliau melakukan qiyas
terhadap peristiwa yang dialami oleh Umar Bin Khattab RA, sebagai berikut.
Artinya:
"Wahai Rasulullah, hari ini saya telah berbuat suatu perkara yang
besar; saya mencium isteri saya, padahal saya sedang berpuasa. Maka Rasulullah
SAW bersabda kepadanya : Bagaimana pendapatmu, seandainya kamu berkumur-kumur
dengan air dikala kamu sedang berpuasa? Lalu saya jawab: tidak apa-apa dengan
yang demikian itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : Maka tetaplah kamu
berpuasa!" (I'lamul Muwaqqi'in, Juz: I, hal: 199).
Pada hadits di atas Rasulullah SAW menetapkan tidak batal puasa
seseorang karena mencium isterinya dengan mengqiyaskan kepada tidak batal puasa
seseorang karena berkumur-kumur. Juga seperti hadits Rasulullah SAW :
Artinya :
"Seandainya tidak akan memberatkan terhadap umatku, niscaya kuperintahkan kepada mereka bersiwak (bersikat gigi) setiap akan melakukan shalat." (HR. Abu Daud dari Zaid Bin Khalid al-Juhanni).
"Seandainya tidak akan memberatkan terhadap umatku, niscaya kuperintahkan kepada mereka bersiwak (bersikat gigi) setiap akan melakukan shalat." (HR. Abu Daud dari Zaid Bin Khalid al-Juhanni).
Diterangkan oleh Muhammad
Ali as-Sayis, bahwa hadits tersebut menunjukkan kepada kita adanya pilihan
Rasulullah SAW terhadap salah satu urusan, karena untuk menjaga kemaslahatan
umatnya. Seandainya beliau tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, hal itu tidak
akan terjadi. Dalam pada itu, dari penelitian sebagian ulama terhadap berbagai
peristiwa hidup Rasulullah SAW, berkesimpulan bahwa beliau bisa melakukan
ijtihad dan memberi fatwa berdasarkan pendapatnya pribadi tanpa wahyu, terutama
dalam hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan persoalan hukum.
Kesimpulan tersebut, sesuai dengan sabda beliau sendiri :
Artinya :
"Sungguh saya memberi keputusan diantara kamu tidak lain dengan
pendapatku dalam hal tidak diturunkan (wahyu) kepadaku." (HR. Abu
Daud dan Ummi Salamah).
Rasulullah SAW adalah seorang manusia juga sebagaimana manusia yang
lain pada umumnya maka hasil ijtihadnya bisa benar dan bisa salah, sebagaimana
diterangkan dalam sebuah riwayat, beliau bersabda :
Artinya :
"Saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar; dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah bisa benar." (Ijtihad Rasul, hal: 52-53).
"Saya tidak lain adalah seorang manusia juga, maka segala yang saya katakan kepadamu yang berasal dari Allah adalah benar; dan segala yang saya katakan dari diri saya sendiri, karena tidak lain saya juga seorang manusia, bisa salah bisa benar." (Ijtihad Rasul, hal: 52-53).
Hanya saja jika hasil ijtihad beliau itu salah, Allah menurunkan
wahyu yang tidak membenarkan hasil ijtihad beliau dan menunjukkan kepada yang
benar. Sebagai contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat, yakni ijtihad yang
dilakukan oleh 'Amar bin Yasir, sebagai berikut :
Artinya:
"Saya telah berjunub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya mengerjakan shalat. Lalu hal itu, saya sampaikan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda : Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini : Nabi menepuk tanah dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke wajahnya dan dua telapak tanganya." (HR. Bukhari dan Muslim).
"Saya telah berjunub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya mengerjakan shalat. Lalu hal itu, saya sampaikan kepada Nabi SAW. Maka beliau bersabda : Sesungguhnya cukup kamu melakukan begini : Nabi menepuk tanah dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke wajahnya dan dua telapak tanganya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, 'Ammar bin Yasir mengqiyaskan debu dan
air untuk mandi dalam menghilangkan junubnya, sehingga ia dalam menghilangkan
junub karena tidak mendapatkan air itu, dilakukan dengan berguling-guling di
atas debu. Namun hasil ijtihadnya ini tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Dari uraian di atas dapat dipetik arti bahwa ijtihad baik yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW maupun oleh para sahabatnya pada masa ini tidak
merupakan sumber hukum, karena keberadaan atau berlakunya hasil ijtihad kembali
kepada wahyu. Akan tetapi dengan adanya kegiatan ijtihad yang terjadi pada masa
ini, mempunyai hikmah yang besar, karena hal itu merupakan petunjuk bagi para
sahabat dan para ulama dari generasi selanjutnya untuk berijtihad pada
masa-masanya dalam menghadapi berbagai persoalan baru yang tidak terjadi pada
masa Rasulullah SAW atau yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah.
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di
sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin
luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa
Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta
adat istiadatnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah
tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam.
Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai
daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang
timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari
ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena
pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan
pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang
besar dan lebih bersemarak. Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama
untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan
tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Akibat dari perbedaan -perbedaan
pendapat para ulama, timbullah satu pemikiran untuk membuat peraturanperaturan
dalam ijtihad dan penetapan hukum, yang pada gilirannya dapat diperoleh
pendapat yang benar dan setidak –tidaknya agar dapat memperpendek jarak
perbedaan -perbedaan pendapat tersebut. Dan
peraturan-peraturan tersebut dikenal sebagai ilmu Ushul Fiqih. Ilmu ini
diperkenalkan pada abad ke tiga Hijriah secara sistematis oleh imam Syafi'I
rahimahullah yang kemudian dianggap sebagai p erintis atau bapak yurisprudensi
dalam Islam. Dan berdasar nash pula para mujtahid mengambil 'illat/sebab yang
menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan
hukum/maqashid al syari'ah, sebagaimana diisyaratkan oleh Al -Qur'an maupun
Sunnah Nabi SAW.
Sunnah Nabi SAW.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan
banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara
orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan
bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun
dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang
demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan
dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun
kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash
syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya
nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah
lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu
Ushul Fiqh. Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali
menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu
Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang
pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai
alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H)
dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah
kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena
itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul
Fiqh.
Read More »